Mati Rasa
Rindu berlari menghampiri ponselnya yang berbunyi di atas meja, kemudian membaca nama yang muncul di layar lalu menempelkan ponselnya di telinga. “Halo, Dion?” tanyanya ceria. Ia tersenyum lebar meskipun Dion sama sekali tidak melihat.
“Besok? Tentu saja, hari Valentine. Ada apa?”
Rindu terkesiap mendengar pertanyaannya sendiri. Bodoh, kenapa harus tanya?
Pasti Dion mengajakku ngedate?
Rindu segera memperbaiki ucapannya. “Maksudku,
kau ingin kita pergi?” tanya Rindu hati-hati. Ia takut kalau Dion kecewa
mendengar ucapannya tadi.
Mata Rindu berbinar. Tangannya menggenggam tepi
meja dengan kuat. “Kapan?” tanya Rindu lagi. Ia menghampiri sofa dan duduk di
sana.
Seketika ia lemas bahkan duduknya tidak sekuat
tadi. Sofa licinnya membiarkan tubuhnya nyaris memerosot. “Sayang sekali, aku
tidak bisa membatalkan. Grandma akan datang.” Rindu mendengar embusan napas
Dion di ponsel.
“Maafkan aku.” Suara Rindu menjelma lirih. “Kau
datang saja ke sini, ketemu Grandma!” ucapnya kembali riang.
“Baiklah, kalau begitu. Bersenang-senanglah.”
Nada putus dari telepon terdengar. Semoga apa yang aku katakan benar.
Bersenang-senanglah.
***
Rindu duduk di depan jendela yang dibiarkan
terbuka. Salju tipis beterbangan tertiup angin. Ia membayangkan suasana
romantis jika pergi bersama Dion. Lilin putih, potongan coklat berbentuk hati,
buket bunga mawar yang indah, alunan musik bernada lembut, dan tentunya ucapan
manis kalimat cinta. Ia menghela napas menyesal.
“Ada apa sweety?” Suara Grandma
terdengar dekat, ia duduk di sebelahnya, di kursi kayu. “Ada masalah, hmm?”
tanyanya lagi. Kedua tangannya menangkup wajah Rindu.
“Tidak, Grandma,” sahut Rindu sambil menggeleng
kepala dan melepas tangan neneknya. “Sudah waktunya makan malam, jangan sampai
ibu berteriak dan menggetarkan seisi rumah,” ucapnya tertawa begitu pun
neneknya. Rindu beranjak dan meraih tangan neneknya. Mereka berjalan ke ruang
makan.
Setelah makan malam itu, mereka berkumpul di
ruang tamu menonton drama lawas yang menjadi tontonan wajib setiap hari
Valentine, kecuali Teo, ia masih dibawah umur.
Layar ponsel Rindu menyala tanpa suara, ia
mendapati dua pesan dari Arnold. Laki-laki itu mengirim dua foto. Jari jemari
Rindu memegang erat ponsel ketika membuka pesan Arnold. Kini, dua foto itu
terlihat sempurna di layarnya, dan berhasil membuat hatinya berdesir.
Rindu beranjak dari duduknya. “Dad, Mom,
Grandma, Rindu izin menelepon dulu,” katanya sebagai alasan. Ia tidak mungkin sungguhan
menelepon, mana mungkin membiarkan Arnold mendengar tangisannya.
[Kirim lokasinya, aku ingin datang.]
Pesan Rindu meluncur cepat ke dalam ponsel
Arnold hingga laki-laki itu segera membalasnya.
“Tidak mungkin!” ucapnya menggeram setelah
membca pesan Arnold. Rindu melangkah cepat ke ruang tamu dan meminta izin kepada
orang tuanya. Namun, ayahnya melarang Rindu pergi sedangkan ibunya mengangguk
setuju.
“Biarkan, Rindu sudah besar.” Neneknya mendadak
menjadi penyelamatnya, membuat Rindu berhasil lolos dari tatapan ayahnya yang heran.
Bersamaan Rindu melangkah ke luar pagar yang
tinggi, di luar, taksi berwarna kuning berhenti tepat di depanya. Tangannya
bergerak cepat membuka pintu belakang dan duduk di sana. Rindu menyebutkan
tempat tujuan setelah berpikir sejenak.
Kafe bernuansa romantis dipenuhi pasangan yang
duduk saling menghadap. Kafe itu penuh sekali hingga tidak cukum menampung
pasangan yang sedang kasmaran. Setiap meja diletakkan dua kursi yang berhadapan.
Berbeda dari biasanya, malam itu, kafe sangat berbinar karena dibanjiri cahaya
lembut. Bayangan Rindu yang ada di benaknya terwujud di sana. Ia tersenyum
miring melihat Dion dan wanita lain. Berani sekali dia!
Arnold juga di sana. Ia duduk bersama
kekasihnya tidak jauh dari meja Dion. Tempatnya sedikit terhalangi oleh meja di
tengahnya. Arnold berkali-kali mengambil gambar berkat kekuatan lensa kamera
yang canggih.
“Aku harus memotretnya!” Tangannya meraih cepat
ponsel dari tas tangannya. Namun, bagaimana cara mengambil foto Dion agar tidak
ketahuan?
“Hei,” sapa Rindu kepada seorang pelayan kafe
yang melintas di depannya.
“Aku?” tanya pelayan itu sambil mengarahkan
jarinya ke wajah.
Rindu mengangguk. “Kau bisa membantuku? Bukan
mencarikan meja, tapi memfoto seseorang.” Pelayan itu menggeleng lemah. “Aku
mohon,” ucap Rindu. Ia menangkupkan kedua tangannya, memohon.
“Baiklah, satu foto.”
“Dua!” sahut Rindu cepat.
Pelayan itu menggeleng. “Dua, tidak lebih. Bisa
saja aku mengganggu privasi pelanggan.” Persetan, aku tidak peduli.
Rindu menyerahkan ponselnya dan menunggu di
luar kafe. Tidak lama, pelayan itu datang kembali. “Aku sempat ketahuan, untung
aku pandai membuat alasan,”ucapnya kecut lalu membalikkan tubuh.
“Terima kasih, Adam,” ujar Rindu membuat
pelayan itu mengacungkan tangannya membentuk simbol “oke”.
Rindu mengirim satu foto saat itu juga ke
ponsel Dion. Ia menunggu balasan Dion sebelum mengirim foto yang kedua. Rasakan!
Di balik pohon natal di luar kafe, Rindu berdiri
sambil memperhatikan Dion yang mengedar pandangan. Rindu bisa melihat jelas ekspresi
wajah Dion yang gusar.
Satu pesan Dion masuk ke ponsel Rindu. [Kau di
mana? Kau bohong padaku?]
Rindu mengirim foto ke dua. Ia yakin, Dion
semakin geram dan wajahnya memerah. Hitungan detik, Dion membuka pesannya dan
membaca dua pesan berikutnya dari Rindu.
[Hebat! Ajakanmu padaku cuma pura-pura?!]
[Kita PUTUS. Selamat bersenang-senang, DION!!]
Rindu mematikan ponselnya. Ia tidak ingin
menerima pesan atau telepon yang berisi ucapan maaf dari si berengsek, Dion.
Esok paginya, Dion datang ke rumah, ia menunggu
di luar hingga malam. Berdiri bersama mobil SUV hitamnya tanpa sedikit pun
Rindu membukakan pintu. Rindu tidak sabar ingin mengusir Dion dari
pandangannya. Mata Dion melebar melihat Rindu melangkah ke luar pagar,
menemuinya.
“Kita sudah putus. Jangan pernah datang lagi.”
Dion berjalan mendekati Rindu. “Aku tidak mau.
Maafkan aku, Rindu.”
“Kau hebat, Dion. Lima bulan kau
membohongiku,”ucap Rindu marah.
“Aku terjebak. Dia ba ….”
“Baik, cantik, manis, rambutnya panjang, dan …
kaya!”
Dion terperanjat. Kalimat Rindu benar tanpa
celah. “Aku sudah putus. Aku meninggalkannya demi dirimu.”
Rindu mengibaskan tangannya. “Tidak perlu. Aku
muak melihatmu!”
Tiga hari kemudian, ponsel Rindu kembali
dihidupkan setelah Dion bertekuk lutut di rumahnya. Puluhan telepon dan pesan
dari Dion beruntun masuk.
***
Debur ombak pantai Bali menghanyutkan kenangan
buruknya. Ia berendam di pinggir pantai dengan gaun merah yang dipakai di pesta
pernikahan temannya. Gaun merah menyala milik Rindu basah hingga setengah dada.
Gelombang air laut bertubi-tubi menghantam hingga beberapa kali ia tersingkir
ke bibir pantai. Ia menyerah, jari jemarinya berganti keriput seperti kulit
yang menua.
“Sudah main ombaknya?” tanya Tiya. Ia tidak
menyentuh sedikit pun air laut yang katanya membuat kulit putihnya terkikis
oleh air laut yang seperti garam, asin.
Tiya duduk di bawah payung besar yang
berwarna-warni. Dua gelas jus jeruk dan satu piring berisi potongan buah melon
dan stroberi menemani.
“Dingin, lihatlah,” sahut Rindu.
Ia menunjukkan sepuluh jarinya di depan Tiya.
“Tuh, kan. Air laut menyerap
kekuatan kulitmu, jadi menua.” Tiya bergidik melihatnya.
Rindu tergelak. “Kau kebanyakan baca buku
fantasi, jadi otakmu terkontaminasi.”
Tiya mengedikkan bahu. “Biar yang penting
kulitku tetap mulus.”
Rindu mengangguk-angguk mengalah.
“Emm tapi, Rin.” Tiya merubah
posisi duduknya menghadap Rindu. “Bagaimana,
Dion?”
Seketika, Rindu terdiam. Ia ingat telepon
terakhir Dion.
“Aku sudah mati rasa, Ya.” Tiya
menatap mata Rindu lurus-lurus.
“Tidak ada wanita yang rela
diduakan kemudian diminta untuk berbaikan. Memangnya hati tidak bisa bicara?” tanya
Rindu sedikit meninggikan suaranya.
Tiya membisu. Kalau sudah seperti itu Rindu
tidak mudah dinasihati.
“Dion, bukanlah laki-laki baik, meskipun
dulu, aku pernah mengakuinya bahkan melebih-lebihkan. Aku menyesal."
“Begitulah dirimu ....” Ucapan
Tiya segera terhenti karena tatapan maut dari Rindu.
“Maksudku, begitulah manusia. Suka
dibutakan dengan cinta ketika cinta itu sedang bertumbuh, makanya, aku tidak
pernah menganggap Rey makhluk sempurna.” Tiya mencomot potongan buah stroberi.
“Terkadang, aku juga memujanya,” katanya lalu
tertawa.
“Sama juga, aku dan dirimu!” ketus
Rindu bersungut-sungut.
“Eh, tidak! Kau jomblo aku ...
punya kekasih. Jangan samakan!”
Tiya dihujani tatapan seram dari mata Rindu.
“Lihat nanti, aku kenalkan Alex
denganmu. Jaga matamu, jangan sampai jatuh cinta dengan Alexku!”
Tiya berpikir sejenak. “Eh, siapa tahu, Alexmu
itu malah memilihku dan menjatuhkan hatinya padaku.”
“Rasakan!” Rindu melempari potongan buah ke arah Tiya yang
tergelak tidak berhenti.
~end.
📷 Pict by : Canva &Pinterest
Komentar
Posting Komentar